Diskursus penentuan awal bulan komariah khususnya Ramadhan, Syawal, dan
Zulhijah telah lama dikenal bahkan dialami oleh masyarakat Islam
Indonesia. Akibatnya hingga sekarang masih saja sering terjadi perbedaan
dalam penetapannya. Tidak heran banyak kalangan menilai bahwa perbedaan
ini adakalanya berhubungan dengan banyak hal mulai dari perbedaan dalam
penafsiran hadist hingga persoalan sosial politik.
Tidak dapat dipungkiri, sebenarnya akar dari perbedaan penetapan awal bulan antara NU dan Muhammadiyah muncul dari pemahaman hadis Nabi Shumu li ru’yatihi wa afthiru liru’yatihi fain ghumma alaihi fa istakmiluhu tsalatsina yauman (berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat tanggal, bila kamu tertutup oleh mendung maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban tiga puluh hari). Lafadz liru’yatihi yang artinya karena melihat bulan, NU memahami bahwa penentuan awal bulan komariah dilakukan berdasarkan metode rukyat (melihat bulan) secara langsung. Sehingga, sering kita sebut madzhab rukyat, sedangkan Muhammadiyah memahami lafadz liru’yatihi dimaknai bahwa kata melihat maksudnya dapat dilakukan secara perhitungan atau kita kenal juga dengan madzhab hisab.
Menurut data historis, meskipun Muhammadiyah menggunakan hisab namun dalam realitasnya tidak menolak rukyat. Begitu juga NU dan madzab rukyat lainya, walaupun dalam praktiknya memprioritaskan rukyat akan tetapi tidak mengesampingkan hisab. Artinya, pada mulanya perbedaan metodologi antara Muhammadiyah dan NU dalam menetapkan awal bulan komariah tidak menimbulkan konflik. Hal ini bisa dimengerti karena keputusan-keputusan yang dibuat keduanya bersifat elegan. Bahkan Muhammadiyah dalam setiap keputusannya tentang awal Ramadhan dan Syawal selalu menyertai kalimat “apabila rukyat mendahului hisab maka rukyatlah yang dipakai.”
Buku Kalender Hijriyah Universal ini mengkaji tentang sistem yang ada dalam kalender hijriyah universal dan prospek keberlakuannya di Indonesia. Sehingga perbedaan tidak lagi muncul dalam menetapkan awal bulan. Dalam pemaparannya buku yang awalnya merupakan hasil disertasi di IAIN Walisongo ini menjadikan teori tentang keberlakuan dan kemapanan sebuah kalender, yakni pertama adanya otoritas (penguasa) tunggal yang menetapkannya, kedua, adanya kriteria yang bersifat konsisten yang disepakati, ketiga, adanya batasan wilayah keberlakuan sebagai pisau analisisnya.
Secara terperinci penulis memaparkan bahwa pertama, waktu magrib atau waktu terbenamnya matahari adalah waktu yang digunakan oleh kalender hijriyah universal sebagai permulaan hari dalam kalender hijriyah. Sedangkan tempat dimulainya hari adalah tempat yang hilal mungkin dilihat pertama kali saat sebuah hari dimulai. Mengenai konsep pergantian bulan, kalender hijriyah universal menjadikan imkanurrukyah, dengan kriteria visibilitas hilal Odeh, sebagai metode untuk menentukan pergantian bulan komariah, kedua, Kalender hijriyah universal dengan konsep dua zonanya sulit untuk diberlakukan di Indonesia. Belum tersosialisasikannya pemikiran tentang kalender internasional dan terlalu luasnya wilayah yang belum imkanurrukyah untuk dipaksa masuk ke dalam wilayah yang sudah imkanurrukyah dalam konsep dua zona adalah diantara sebabnya. Oleh karena itu salah satu solusi yang ditawarkan adalah menerapkan kriteria visibilitas hilal yang ada dalam kalender hijriyah universal dan menjadikan garis tanggal hijriyah yang dibentuk oleh kriteria visibilitas hilal dalam kalender tersebut dibelokkan sesuai batas politis negara untuk mempersempit pemaksaan masuknya wilayah yang belum imkanurrukyah ke dalam wilayah yang sudah imkanurrukyah. Oleh karena itu, penyatuan yang dapat diusahakan untuk saat ini adalah penyatuan kalender hijriyah secara nasional.( hal VII ).
Kehadiran buku ini mengupas secara gamblang menyoal penyatuan kalender universal dan merangsang perbincangan yang positif ke depan. Tidak hanya itu semoga semua usaha penulis dapat menyatukan penetapan awal bulan komariah yang sering terjadi di Indonesia. sehingga Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah, dapat dijalankan secara serempak demi tercapainya kebersamaan dalam beribadah.
Judul buku : Kalender Hijriyah Universal, (Kajian Atas sistem dan Prospeknya di Indonesia )
Penulis : Muh. Nashirudin
Penerbit: EL-WAFA
Cetakan: April, 2013
Tebal: 244 halaman
ISBN: 978-602-7969-01-8
Harga: Rp 50.000,-
Peresensi: M Hanifan Muslimin, alumnus Pondok pesantren Tebuireng Jombang
Tidak dapat dipungkiri, sebenarnya akar dari perbedaan penetapan awal bulan antara NU dan Muhammadiyah muncul dari pemahaman hadis Nabi Shumu li ru’yatihi wa afthiru liru’yatihi fain ghumma alaihi fa istakmiluhu tsalatsina yauman (berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat tanggal, bila kamu tertutup oleh mendung maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban tiga puluh hari). Lafadz liru’yatihi yang artinya karena melihat bulan, NU memahami bahwa penentuan awal bulan komariah dilakukan berdasarkan metode rukyat (melihat bulan) secara langsung. Sehingga, sering kita sebut madzhab rukyat, sedangkan Muhammadiyah memahami lafadz liru’yatihi dimaknai bahwa kata melihat maksudnya dapat dilakukan secara perhitungan atau kita kenal juga dengan madzhab hisab.
Menurut data historis, meskipun Muhammadiyah menggunakan hisab namun dalam realitasnya tidak menolak rukyat. Begitu juga NU dan madzab rukyat lainya, walaupun dalam praktiknya memprioritaskan rukyat akan tetapi tidak mengesampingkan hisab. Artinya, pada mulanya perbedaan metodologi antara Muhammadiyah dan NU dalam menetapkan awal bulan komariah tidak menimbulkan konflik. Hal ini bisa dimengerti karena keputusan-keputusan yang dibuat keduanya bersifat elegan. Bahkan Muhammadiyah dalam setiap keputusannya tentang awal Ramadhan dan Syawal selalu menyertai kalimat “apabila rukyat mendahului hisab maka rukyatlah yang dipakai.”
Buku Kalender Hijriyah Universal ini mengkaji tentang sistem yang ada dalam kalender hijriyah universal dan prospek keberlakuannya di Indonesia. Sehingga perbedaan tidak lagi muncul dalam menetapkan awal bulan. Dalam pemaparannya buku yang awalnya merupakan hasil disertasi di IAIN Walisongo ini menjadikan teori tentang keberlakuan dan kemapanan sebuah kalender, yakni pertama adanya otoritas (penguasa) tunggal yang menetapkannya, kedua, adanya kriteria yang bersifat konsisten yang disepakati, ketiga, adanya batasan wilayah keberlakuan sebagai pisau analisisnya.
Secara terperinci penulis memaparkan bahwa pertama, waktu magrib atau waktu terbenamnya matahari adalah waktu yang digunakan oleh kalender hijriyah universal sebagai permulaan hari dalam kalender hijriyah. Sedangkan tempat dimulainya hari adalah tempat yang hilal mungkin dilihat pertama kali saat sebuah hari dimulai. Mengenai konsep pergantian bulan, kalender hijriyah universal menjadikan imkanurrukyah, dengan kriteria visibilitas hilal Odeh, sebagai metode untuk menentukan pergantian bulan komariah, kedua, Kalender hijriyah universal dengan konsep dua zonanya sulit untuk diberlakukan di Indonesia. Belum tersosialisasikannya pemikiran tentang kalender internasional dan terlalu luasnya wilayah yang belum imkanurrukyah untuk dipaksa masuk ke dalam wilayah yang sudah imkanurrukyah dalam konsep dua zona adalah diantara sebabnya. Oleh karena itu salah satu solusi yang ditawarkan adalah menerapkan kriteria visibilitas hilal yang ada dalam kalender hijriyah universal dan menjadikan garis tanggal hijriyah yang dibentuk oleh kriteria visibilitas hilal dalam kalender tersebut dibelokkan sesuai batas politis negara untuk mempersempit pemaksaan masuknya wilayah yang belum imkanurrukyah ke dalam wilayah yang sudah imkanurrukyah. Oleh karena itu, penyatuan yang dapat diusahakan untuk saat ini adalah penyatuan kalender hijriyah secara nasional.( hal VII ).
Kehadiran buku ini mengupas secara gamblang menyoal penyatuan kalender universal dan merangsang perbincangan yang positif ke depan. Tidak hanya itu semoga semua usaha penulis dapat menyatukan penetapan awal bulan komariah yang sering terjadi di Indonesia. sehingga Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah, dapat dijalankan secara serempak demi tercapainya kebersamaan dalam beribadah.
Judul buku : Kalender Hijriyah Universal, (Kajian Atas sistem dan Prospeknya di Indonesia )
Penulis : Muh. Nashirudin
Penerbit: EL-WAFA
Cetakan: April, 2013
Tebal: 244 halaman
ISBN: 978-602-7969-01-8
Harga: Rp 50.000,-
Peresensi: M Hanifan Muslimin, alumnus Pondok pesantren Tebuireng Jombang
0 komentar: