JAKARTA - Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), T.
Djamaluddin, menjelaskan bahwa suatu kalender yang mapan, mensyaratkan
tiga hal, yaitu: adanya otoritas tunggal, jelasnya batas wilayah, serta
adanya kriteria yang digunakan.
Penjelasan ini disampaikan oleh
Djamaluddin dalam acara talkshow yang disiarkan oleh sebuah stasiun
televisi swasta, Minggu malam (07/07). Talkshow itu sendiri membahas
tentang persiapan sidang itsbat awal Ramadlan yang akan diselenggarakan
oleh Kementerian Agama di Kantor Kementerian Agama, Jakarta, pada Senin
petang (08/07). Hadir dalam talkshow itu, Wakil Menteri Agama,
Nasaruddin Umar, dan Anggota Lembaga Tarjih Muhammadiyah, Agus Purwanto.
“Suatu
kalender yang mapan mensyaratkan 3 hal, yaitu: pertama, ada otoritas
tunggal; kedua, jelas batas wilayahnya; dan ketiga, ada kriterianya,”
jelas Djamaluddin.
Menurut Djamal, kalender masehi yang sekarang
kita anggap mapan, dulunya pun sama, tidak mapan. Namun demikian, lanjut
Djamal, kalender masehi kemudian terus berkembang di bawah sebuah
otoritas tunggalnya. “Dulu otoritas tunggalnya di tangan Julias Caesar,
kemudian Paus Gregorius,” terang Djamal.
Djamal menambahkan bahwa
kriteria kalender masehi juga berubah. Awalnya, kriteria Julius yang
satu tahun ada 365,25 hari. Jadi setiap 4 tahun, ada tahun kabisat.
“Kriteria ini kemudian berubah menjadi kriteria Gregorius di mana satu
tahun ada 365,2425 hari. Jadi tiap 4 tahun ada tahun kabisat kecuali
dalam 400 tahun harus dihilangkan 3 tahun kabisat,” papar Djamal.
Bagaimana
dengan kalender Hijriyah? Profesor bidang Astronomi dan
Astrofisika LAPAN yang juga Anggota Badan Hisab-Rukyat Kementerian Agama
ini menegaskan bahwa kalender hijriyah juga sama. “Kita bisa
mendapatkan kalender hijriyah yang mapan, kalau 3 hal terpenuhi:
pertama, adanya otoritas tunggal; kedua, jelas batas wilayahnya, dan
ketiga, ada kriterianya.
Terkait hal ini, Wakil Menteri Agama
(Wamenag), Nasaruddin Umar menjelaskan bahwa otoritas tunggal itu ada
pada Pemerintah selaku Ulil Amri. Batas wilayahnya pun jelas, yaitu
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Wamenag menegaskan
bahwa dalam konteks pengamatan hilal, Indonesia tidak mengadopsi
siapa-siapa, Arab Suadi, Mesir, atau negara Muslim lainnya. “Indonesia
dengan Arab Saudi itu sangat jauh,” terang Wamenag.
“Bahkan Saudi
Arabia pernah melarang, Indonesia tidak boleh ikut-ikutan kami karena
geografis anda sangat berjauhan dengan kami. Anda berdasarkan posisi
hilal anda masing-masing,” tambah Wamenag.
Namun demikian, Wamenag
mengakui bahwa persoalannya memang pada kriteria yang belum disepakati.
“Posisi hilal pada penentuan awal Ramadlan tahun ini sangat krusial,
karena posisinya di bawah 2 derajat. Kalau pengalaman yang lalu,
biasanya terjadi dua starting point di sini,” ujar Wamenag.
Wamenag
menambahkan bahwa Pemerintah sesungguhnya sudah berupaya untuk
mengkomodir seluruh perbedaan ini. Menurutnya, dulu kita mengikuti
standar international, 6 derajat imkanur-rukyat. Dalam perkembangan
selanjutnya, Indonesia kemudian menurunkannya menjadi 4 derajat agar
bisa merangkul semua. “Kebijakan ini kemudian diikuti juga oleh Asia
Tenggara, seperti Malaysia, Siangapura, dan lainnya,” kata Wamenag.
Negara-negara
di Asia Tenggara cenderung bersepakat dengan Indonesia. Makanya, lanjut
Wamenag, ketika Indonesia menurunkan kembali kriteria imkanur-rulyat
menjadi 2 derajat untuk merangkul aspirasi semua pihak, negara-negara
tetangga juga mengikutinya. “Dua derajat itu pun sesunggunya sunguh
sangat riskan untuk diintip. Tapi itu demi mencapai persatuan pada saat
itu karena itu permintaan dari ormas kita,” tambah Wamenag.
Sementara
itu, Anggota Lembaga Tarjih Muhammadiyah, Agus Purwanto menjelaskan
bahwa Muhammadiyah kalau dilihat dari sejarahnya juga pernah menggunakan
metode rukyat. Dalam perkembangan selanjutnya, Muhammadiyah kemudian
menggunakan metode hisab dengan menggunakan kriteria ijtima’ qablal
ghurub. “Sepanjang konjungsi (posisi bulan di tengah antara matahari dan
bumi itu berada pada satu garis astronomi) itu terjadi sebelum magrib,
maka begitu masuk magrib, itu adalah tanggal baru,” terang Agus.
Agus
menambahkan, sebenarnya dari sisi hisab, semuanya relatif sama. Sebab,
yang mengembangkan metode hisab itu sebenarnya teman-teman astronomi
juga. “Hitung-hitungannya pun sama, yang membedakan pada kriteria yang
diterima yang kemudian mendefinisikan bulan baru,” terang Agus.
Mengenai
perbedaan kriteria ini, Agus mengusulkan kepada Pemerintah agar juga
mensosialisasikan penetapan awal Ramadlan bagi mereka yang berpegang
pada metode hisab. “Tidak harus selalu menunggu hasil sidang itsbat,”
harap Agus.
Terlepas dari perbedaan kriteria yang ada, Wamenag
berharap proses sidang itsbat bisa berjalan dengan cepat dan lancar
sehingga masyarakat tidak terlalu lama menunggu penetapan dari
Pemerintah. Wamenag menegaskan bahwa kalau kita menghendaki persatuan,
maka kriterianya harus ada, kemudian harus ada otoritas tunggal, dan
satu lagi adalah wilayahnya. Untuk itu, Wamenag mengajak semua pihak
terkait untuk hadir dalam proses sidang itsbat agar ada dialog yang
konstruktif. “Biar ada dialog,” terang Wamenag.
“Shumu li ru’yati
(berpuasalah kamu karena melihat hilal) itu bukan melulu hanya persoalan
sains, tapi juga persoalan agama,” tutup Wamenag.
Sumber: Kemenag
0 komentar: