Bagaimana pendapat Kyai tentang isu khilafah yg makin marak ini?
Menurut Islam, sistem khilafah atau
khilafah Islamiyyah itu tidak memiliki dasar. Yang ada khilafah Rosidah
terjadi sesudah Nabi Muhammad. Ada kholifah Abu Bakar Shiddiq, Umar bin
Khotthob, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Tholib atau yang dikenal
Khulafaur Rosyidin. Setelah itu ada khilafah Umamiyyah, dinasti umayyah.
Setelah itu dinasti umayyah Mojopahit, Brawijaya 1 brawijaya 2,
Mataram. Habis itu dinasti Abasiyyah. Jadi Khilafah itu, khilafah
Rosidah, khilfah Umamiyyah, khilafah Abaiyyah, khilafah Usmaniyyah.
Sekarang khilafah mana yang dikehendaki
pengajak khilafah itu? Pemerintahan itu kalau adil ya Islami. Di
Abbasyah (sekarang Etiopia), jaman Nabi Muhammad, kepala negaranya
seorang nasrani tapi walaupun demikian oleh Nabi Muhammad dihormati.
Para shahabat nabi yang hijrah disana juga mendapat perlindungan.
Tampaknya konsep khilafah itu kian mendapat sambutan dari masyarakat terutama anak muda?
Karakter manusia itu memang suka
terhadap hal yang baru, sementara yang lama dan sudah mapan dilihatnya
biasa-biasa saja. Misalnya saja NU dan Muhammadiyah. Karena merasa sudah
mapan NU dan Muhammadiyah sekarang ini tinggal ngantuknya saja.
Munculnya gerakan baru (pengajak
khilafah) lalu dilihat sebagai sesuatu yang baru. Apalagi gerakan itu
banyak menawarkan kegiatan. Inilah yang memikat anak-anak muda tanpa
melihat isinya benar atau salah.
Menyikapi fenomena ini tentu kita harus
kembali ke basik kita sendiri. Menawarkan banyak kegiatan untuk
menyalurkan semangat anak muda. Sebab anak muda itu cenderung bergerak
dinamis, tak bisa diam.
Walaupun misalnya, gerakan itu telah benar-benar menyusup ke NU dan Muhamadiyyah bahkan ke MUI?
Katakanlah mereka benar telah menyusup
itu berarti diri kita ini lemah. Dan solusinya kita harus memperbaiki
diri sendiri. Biasakan melihat (koreksi) diri sendiri dan tidak perlu
menyalahkan orang lain. Misalnya, kenapa “warung” (NU) sekarang
pelanggannya menurun dan berpindah ke warung lain. Padahal warung lain
itu masakannya hanya itu-itu saja. Kita tidak boleh mengatakan warung
lain itu jahat apalagi sampai mengundang polisi untuk menutupnya. Kalau
mau kembali ke basik kita seperti dulu, nanti akan terbukti warung kita
jauh lebih bagus dengan menu masakan yang lebih banyak.
Jika setiap saat hanya mengurusi mereka
(pengajak khilafah) wahh ..kacau kita, yang rugi kita sendiri. NU dan
Muhamadiyyah itu yang terbesar, NU bahkan terbesar di dunia. Kalau hanya
mengurusi kelompok sekelas itu kan rugi. Membentengi
pengaruh-pengaruhnya hanya akan membuang energi saja. Mending ngurus
diri sendiri, kembali ke basik perjuangan kita yang pertama.
Seperti apa?
70 tahun lalu Hadrotush Syeik Hasyim
Asy’ari menulis surat kepada kyai-kyai, yang kemudian diambil alih oleh
pengurus besar untuk dikirim ke cabang-cabang. NU terbukti diminati
masyarakat, karena mereka merasa mendapat manfaat. Kalau NU tidak
memberi manfaat maka umat tidak akan berminat lagi.
Perlu diketahui, mereka itu (pengajak
khilafah) sebenarnya meniru semua model kita. Misalnya kegiatan Lailatul
Ijtimak, sekarang di NU tidak ada tapi oleh mereka digunakan setiap
malam.
Jadi NU tidak ada penanganan khusus membentengi ancaman kelompok tersebut dan lebih bersikap introspeksi diri ?
Ndak. Maksudnya jangan berfikir kesana
tapi berfikir ke sini. Berpikir terhadap warung sendiri bukan milik
orang lain. Anda akan mencari cara apa untuk membentengi mereka, kalau
kita sendiri lemah. Gimana?. Misalnya ada kebocoran menembus warung
kita. Yang kita pikirkan adalah dimana bagian dinding warung rumah kita
yang bocor. Permasalahannya justru ada pada diri kita sendiri, tidak
perlu menyalahkan orang lain. Perkara air (paham) mereka biarkan saja
mengalir kemana-mana, asal tembok kita kuat kan tidak apa-apa.
Pemikiran khilafah itu tidak berdasar.
Mereka hanya benci Amerika yang dianggap menjadi biang keonaran dunia.
Satu-satunya cara melawan, menurut mereka, menjadikan umat Islam seluruh
dunia bersatu mendirikan kekholifahan untuk melawan Amerika. Maksudnya
kan begitu. Tapi langkah itu tidak riel. Andai saja bisa berdiri, lalu
siapa yang menjadi kholifahnya. Arab saja tidak bisa kok.
Dulu pernah ada yang datang kesini
membawa brosur dan segala macam. Saya tanya apa tujuannya. Katanya
mempersatukan Islam. Waktu itu saya bilang sambil tertawa, lho sampeyan
ini gimana, mau mempersatukan Islam kok malah bikin lagi. Tak kasih
tahu, kalau ingin mempersatukan umat Islam itu mudah, temui saja
pimpinan-pimpinan organisasi Islam itu, masing-masing suruh bubarkan
organisasinya. Hari ini di bubarkan besok jadi satu. Kalau bikin lagi
namanya tidak bersatu tapi tambah banyak. Masing-masing golongan bangga
dengan golongannya sendiri, seolah-olah bisa mempersatukan dunia.
Sebenarnya hubungan antara imam dengan
umat itu ada, seperti tanya jawab, musyawarah, pelajaran kitab, jamaah
tahlil, sembahyang ghoib bahkan ada yang menyantuni saudara-saudara kita
yang lemah. Semua sudah kita lakukan.
Bukankah hal ini sebenarnya sudah bukan sekedar persoalan kelompok NU atau Muhammadiyah tapi sudah mengancam NKRI?
Sama saja. Kalau kita baik, seperti
dulu, bangsa mendapat barokah yang luar biasa. Kenapa sekarang tidak.
Saya lebih suka instropeksi diri dari pada menyalahkan orang lain. Jaman
kemerdekaan atau jaman apa saja.
Anda sendiri melihat pemerintah menyikapi hal ini seperti apa? Pancasila dan UUD’45 dikatakan harom?
Ya tanyakan pada pemerintah. Kalau masih
ingin menjaga NKRI kita harus bertanya, benarkah kita berjuang untuk
negara ini atau tidak. Seperti mengejar layang-layang putus, kalau ada
masalah baru kelabakan.
Ketika kuat seperti dulu, pemerintah
yang bertanya kepada kita, bahkan pemerintah Jepang dulu bertanya kepada
Kyai Hasyim As’ari, siapa yang paling pantas menjadi presiden.
Sebetulnya Kyai Hasim itu layak, tapi hebatnya beliau tidak berfikir
untuk diri sendiri seperti kebanyakan orang, tidak menunjuk putranya
tapi malah menunjuk Soekarno.
Pada jaman penjajahan Belanda, Hadotush
syeik juga mengeluarkan fatwa jihad. NU dalam muktamarnya memutuskan
bahwa Soekarno lah yang layak menjadi presiden. Ini sikap politik
kebangsaan NU untuk kepentingan NKRI. Mengapa pemerintah sekarang ini
tidak mendengarkan NU sebab dengan FPI (Front Pembela Islam-red)
suaranya kalah jauh.
Sebagian ulama’ mengatakan, kelompok ini hanya menggunakan kedok agama dengan dalil-dalinya untuk tujuan politik. Tanggapannya?
Di negara asalnya Yordania, kelompok ini
dilarang dan tidak ada negara lain yang menerima hanya Indonesia.
Organisasi terbesar NU tidak mendukung dan sepertinya Muhammadiyah juga
tidak. Pemerintah harusnya percaya dan minta fatwa kepada kita tapi
nyatanya kan tidak. Nah menurut saya, lagi-lagi kita harus koreksi
terhadap diri sendiri. Kalau terus menerus sibuk mengurus pekerjaan
kecil, kita ini lama-lama akan terkesan kecil. Saya ingin supaya kita
kembali menjadi jam’iyyah yang punya wibawa, posisi yang betul-betul
diperhitungkan. Belum tegaknya keadilan, kesejahteraan rakyat masih
terabaikan, ini yang harus diprioritaskan.
Sebenarnya mudah sekali mematahkan
dalil, hujjah mereka. Tapi tanpa dibarengi perbaikan terhadap diri
sendiri secara inten tetap saja sia-sia. Mereka tidak akan mendengarkan
kita. Apakah dikira kalau benar mereka lalu mau mendengarkan suara kita.
Mereka hanya mendengarkan dirinya sendiri.
Maksudnya memperbaiki diri itu sepeti apa?
Lha kita tinggal kembali kepada basik
kita, Kita pelajari apa yang telah dilakukan pendahulu kita.
Perhatiannya terhadap Indonesia jelas sekali, dibaca oleh semua orang.
Seperti soal dakwah. Dulu Wali Songo bisa mendakwahi orang jawa sampai
sekian banyaknya, padahal dulu mayoritas Hindu dan Budha. Semua untuk
Indonesia. Masyarakat dan orang-orang kecil dulu diperhatikan. Sekarang
ini bagaimana kita ?
Dulu NU tegas menjaga NKRI seperti fatwa
jihad melawan penjajah, memilih Soekarno menjadi presiden, menerima
asas pancasila dan UUD’ 45. Itu namanya politik kebangsaan. Dulu NU juga
selalu mendampingi, mengayomi rakyat. Kalau rakyat geger dengan
pengusaha, ditindas penguasa, NU selalu membela. Selain itu, para kyai
membuat lembaga-lembaga untuk membantu pedagang kecil meningkatkan
kesejahteraannya.
Maka kalau analognya dengan warung,
masihkan kita menggunakan resep dulu, ramah menghadapi pembeli dan
masihkan kita menjaga kebersihan makanan kita, hal-hal seperti itulah
menurut saya mendesak
Logika saya mengatakan, Indonesia ini
terpuruk atau tidak tergantung umat Islam karena mayoritas. Dan Islam
Indonesia tergantung NU karena jumlahnya terbesar.
(Alkautsar.co/Wawancara dengan Gus Mus,
sapaan populer K.H. Mustafa Bisri pemimpin pesantren Raudlatuth
Tholibin Rembang Jawa Tengah di kediamannya Rembang, pada hari Jum’at 8
Muharrom 1431 H/ 25 Desember 2010M).
0 komentar: