Kamis, 20 Juni 2013

KH Muhammad Thahir: Sang Imam Lapeo, Ulama Kharismatik Mandar

Imam Lapeo atau KH Muhammad Thahir adalah salah satu ulama kharismatik di Tanah Mandar, Sulawesi Barat (Sulbar). Beliau adalah ulama besar dan penyebar Islam yang tak kenal menyerah dalam menanamkan prinsip-prinsip tauhid, akhlak dan keilmuan Islam di Tanah Mandar.

Beliau lahir dari pasangan Muhammad dan Ikaji, di Pambusuang, Kabupaten Polewali Mandar pada tahun 1939, pada masa pemerintahan Raja Balanipa ke 41. Ia dididik dan dibesarkan dalam kehidupan beragama Islam bermadzhab Syafi’i Ahlusunnati Wal Jama’ah.

Imam Lapeo sama dengan manusia-manusia lain. Punya dambaan, obsesi, cita-cita dan pada mulanya mencari tahu apa-apa yang diperlukan untuk diperbuat. Jiwa patriotisme, berani menanggung resiko serta berbagai macam cobaan telah ia lakukan.

Melihat kehidupan dan tingkat pendidikan masyarakat, beliau selalu ingin bertemu, menanggung serta merasakan apa yang dialaminya. Selalu ingin berhubungan, baik di kala senang apalagi kala susah atau mengalami krisis. Beliau berkunjung kepada mereka untuk mencari tahu tentang apa yang mereka alami.

Pada masa muda sampai tua, beliau sangat senang merantau sampai ke Pulau Jawa, Sumatera, Semenajung Malaka dan utamanya di Pulau Sulawesi sendiri baik kediaman suku Bugis, Makassar, Toraja, Massenrempullu, Timur Tengah, hingga Mekkah.

Sebagai seorang yang peka dan haus akan ilmu keagamaan, tentu saja Imam Lapeo dalam pengembaraannya telah bersentuhan serta dipengaruhi oleh paham-paham dan pemikiran kaum pembaharu. Namun yang memantapkan niat Imam Lapeo untuk melakukan pembaruan sosial dan keagamaan adalah pertemuannya dengan seorang Ulama besar dari Yaman, yaitu Sayyid Alwi Jalaluddin Bin Sahal.

Dari ulama yang kemudian menjadi gurunya itu, Imam Lapeo memperoleh motivasi untuk memberantas kejahilan, penyimpangan pelaksanaan dan pemahaman agama serta menggalakkan pelaksanaan agama yang benar dalam masyarakat, khususnya di Mandar.

Bahkan, Imam Lapeo juga berkehendak untuk melawan dan mengusir penjajah Belanda. Beliau berkhawalat selama 40 hari agar mendapat kekuatan dalam berperang. Dalam bersunyi-sunyi itu, beliau didatangi oleh suara menyatakan: “Permintaanmu dikabulkan, hanya saja pemerintahan sebangsamu tidak berperilaku jujur akan menyengsarakan rakyat bangsamu..!” . “Lebih baik membina mereka dalam cara menjalankan misi di situ. Air kali mengalir ke arah timur. Beliau perkirakan inilah Lapeo tempatnya bermuara Lembang Laliko,”. (Ini dikutip dari buku perjalanan hidup Imam Lapeo yang dituliskan oleh cucunya Syarifuddin Muhsin yang sekarang Imam di Mesjid Nuruttaubah Lapeo).

Dengan bekal ilmu dan wawasan Islam yang didapatkannya selama di perantauannya, Imam Lapeo kemudian melaksanakan dakwah Islam di Mandar dengan mempraktikkan metode-metode perjuangan kaum pembaharu baik struktural maupun kultural.

Pada level struktural yang dilakukan Imam Lapeo adalah dengan keterlibatannya dalam mempertahankan Kemerdekaan bangsa, dan bergabung dengan Organisasi Kebaktian Rahasia Islam (KRIS) Muda bersama Andi Depu, RA daud, AR Tamma dan lainnya. Beliau turut berjuang menentang kesewenang-wenangan NICA Belanda yang ingin mengembalikan kekuasaan Belanda di Indonesia dan mengancam kedaulatan bangsa dan agama.

Perjuangan Imam Lapeo dalam menentang penjajahan dan kesewenang-wenangan, adalah tipikal kaum pembaharu yang berusaha mempersatukan ummat Islam dalam satu ke Khalifahan untuk melawan dominasi dan eksploitasi Barat.

Seperti Ibnu Taimiyah dengan menggelorakan semangat Amal Ma’ruf Nahi Mungkar, menentang penjajah Moghul. Kemudian Jamaluddin Al Afgani mengambil inspirasi dari ayat Allah: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum hingga mereka mengubah diri mereka sendiri."

Sementara, pada level kultural keagamaan, Imam Lapeo telah mendrikan lembaga pendidikan Pesantren yang bernama Pesantren Addiniyah Al Islamiyah Ahlussunnah Wal Jamaah di tahun 1920 an di Desa Lapeo, Campalagian. Pesantren yang didirikan Imam Lapeom pada saat itu merupakan bentuk pesantren modern. Sistem pendidikannya bersifat madrasah yang mengajarkan pendidikan Agama dan juga pendidikan umum.

Dari kedua gerakan yang telah dilakukan Imam Lapeo itu dapat disimpulkan, bahwa beliau adalah salah satu eksponen pembaharu sosial keagamaan di Tanah Air. Namun dalam upaya pembaharuannya itu, beliau tetap menghargai budaya dan adat istiadat Mandar. Hal itu ditunjukkan kesediaan beliau untuk menghadiri dan berceramah pada upacara-upacara atau pesta-pesta adat, seperti perkawinan, kematian, maupun pesta panen.

Di masa hidupnya, Imam Lapeo menikah hingga tiga kali yang dianugerahi sebanyak 10 anak. Dalam pernikahannya, istri pertama Imam Lapeo, Sitti Rugayah dianugerahi delapan anak. Sementara, istri kedua (Siti Khadijah) dan ketiga (Hj Hunainah), masing-masing  dianugerahi seorang anak.
KH Muhammad Thahir atau yang lebih kenal dengan Imam Lapeo, tidak hanya dikenal sebagai ulama yang menyebar Islam di tanah Jazirah Mandar, Sulawesi Barat. Tapi, yang tak kalah penting lagi adalah cerita unik tentang kisah-kisah semasa hidupnya.

Dalam buku yang memuat tentang perjalanan hidup Imam Lapeo yang ditulis oleh cucu Imam Lapeo sendiri Syarifuddin Muhsin, ada 74 karamah (kelebihan) dalam kisah hidup Imam Lapeo. Sebagian di antaranya, menyelamatkan orang tenggelam, melerai perkelahian di Parabaya, menghentikan penyiksaan KNIL, jadi perlindungan Arajang Balanipa, berbicara dengan orang mati, menangkap ikan di laut tanpa kail, memendekkan kayu, menghardik jenazah, mengatasi pendoti-doti (guna-guna), berjumat pada tiga tempat pada waktu bersamaan, menebang kayu dengan tangisan bayi, naik becak ke Mamuju, membatalkan tunangan dengan anggota Muhammadiyah, tidak suka bunyi-bunyian (musik).

Peran Imam Lapeo, tidak terlepas dengan karamah kesufian yang ada pada dirinya. Misalnya, tangannya kebal terhadap api. Diceritakan, selama belajar di hadapan Sayyid Alwi al-Maliki, Imam Lapeo juga bertindak sebagai penuntun unta terhadap gurunya dalam berbagai perjalanan.

Saat sang guru Sayyid Alwi al-Maliki bersama muridnya Imam Lapeo melakukan perjalanan antara Mekkah dan Madinah, karena keamanan di jalan kurang terjamin, mereka singgah istirahat dan berkemah di jalanan. Ketika itu, sang gurunya mengetahui Imam Lapeo mengisap rokok. Sang Guru langsung mengambil rokok tersebut dari tangannya, dan rokok yang terbakar itu ditekankan ke telapak tangan muridnya. Dalam keadaan demikian, Imam Lapeo tidak merintih dan tidak merasakan kesakitan, malah hal itu dibiarkannya sampai semuanya selesai.

Sementara, pengalaman pertama Imam Lapeo ketika baru saja berada di Mandar, adalah penduduk setempat mencoba mengujinya, melakukan semacam permainan berbahaya. Waktu itu, Imam Lapeo sedang khutbah di atas mimbar pada hari Jumat, dan bersamaan itu pula muncul suatu gumpalan api yang sangat tajam cahayanya.

Gumpalan api yang pada mulanya laksana sebutir telur yang sinarnya sangat tajam itu, tiba-tiba menjadi besar dan bergerak dari depan dengan kencangnya menuju ke hadapan Imam Lapeo. Pada saat menentukan, dan sejengkal lagi gumpalan api itu mengenai mukanya, Imam Lapeo hanya bergerak dengan isyarat matanya. Akhirnya gumpalan api itu menyingkir dari hadapannya dan mengenai tembok di belakang mimbar. Tembok masjid tersebut hancur rata dengan tanah.

Kisah lain adalah, Imam Lapeo menundukkan ular. Suatu ketika, Imam Lapeo diundang mengahadiri pesta walimah di Tapalang, daerah Mamuju. Ketika resepsi makan dimulai, tiba-tiba muncul ular-ular di piringnya yang ingin digunakannya untuk makan. Ular-ular tersebut, tiada lain dari orang tertentu yang konon kabarnya ingin mempermalukan Imam Lapeo di tengah pesta.

Imam Lapeo sebagai ulama sufi yang tawadhu, hanya menyaksikan ular-ular itu meliuk-liukkan badannya, sampai akhirnya jumlah ular bertambah banyak dan meloncat-loncat. Walhasil, hanya dengan mengancam ular-ular itu dengan memberi isyarat, maka dengan seketika ular-ular tadi hilang dengan sendirinya.

Selain  itu, sepeninggalan beliau, hingga saat ini, kuburannya banyak didatangi orang. Ada suatu kaedah dalam kewalian dan kesufian yang menyatakan seorang waliyullah apabila nampak karamah (keluarbiasaan) pada waktu hidupnya pada dirinya. Maka akan nampak pula keramat pada waktu sesudah matinya.

Seorang sufi, apabila dikunjungi orang pada waktu hidupnya, maka dikunjungi pula banyak orang sesudahnya matinya/makamnya. Hal inilah yang terjadi pada diri Imam Lapeo, dimana kuburannya dikunjungi oleh banyak orang, terutama pada hari-hari tertentu, misalnya pada saat-saat sebelum pemberangkatan dan setelah kembali dari tanah suci Mekkah.

Walaupun kiprah dan perjuangan Imam Lapeo sering direduksi dan dibumbui dengan hal-hal yang berbau supranatural seperti cerita tentang kemampuannya berada di dua tempat sekaligus; menaklukkan para tukang Doti, namun intelektual sekelas Emha Ainun Najib meyakini kisah-kisah Imam Lapeo.

Ada banyak nelayan Mandar yang percaya, bila terhadang badai di tengah laut, mengingat sang panrita untuk kemudian memanggil namanya adalah salah satu cara menaklukkan badai. Ya, itulah salah satu bentuk betapa orang Mandar menganggap Imam Lapeo sebagai ulama berkaramah. Banyak rumah di Mandar memasang fotonya di dinding rumah. Banyak kasus, foto ukuran kecil Imam Lapeo dijadikan jimat (disimpan di dalam dompet). 


SHARE THIS

Author:

Situs Berita Islam Balipapan merupakan situs yang memberitakan tentang dunia Islam dan umat Islam, berbagi informasi dan menyemarakkan dakwah / syiar Islamiyah.

0 komentar: